DuaPada masa silam (berkisar 15 tahun lalu), dan ya ini tentang 15 tahun silam. Atau cermin masa lalu untuk bisa kalian banding bijakkan

Teungku Sudirman pulang dari pesantren saat Kuta Bakdrien sedang riuh dengan persaingan mengaji antar rumoh beut. Di kampung ia membuka pesantren kecil. Sangat kecil, sehingga jika semua santri lelakinya tidur di sana, kepala mereka akan saling berhantukan, kaki mereka saling bersilangan. Dengan kewibawaan seorang teungku, ia datangi beberapa rumoh beut untuk mengajak remaja-remaja tanggung Kuta Bakdrien memelajari kitab-kitab. Kampung kami saat itu, teman, sedang masa berkembang trend mengaji dengan Nagham. Masing-masing rumoh beut dengan sengaja mengundang qari-qari berpengalaman untuk mengajarkan murid-murid mereka Nagham. Kau tentu ingat ayat pertama belajar: Yas-aluu naka ‘anil anfaaaal…! (QS. Al Anfal ayat 1). Semuda apa pun engkau, tetap akan diper-tuan-teungku-kan oleh siapa saja, dihormati laiknya seorang pemuka agama, apabila bisa kau alunkan dengan baik bacaan ayat-ayat Alquran.

Ada tiga rumoh beut (balai mengaji al Quran) yang disegani di Kuta Bakdrien saat itu: Teungku Deunan, Teungku Syen, dan Teungku Mawardi. Ada puluhan remaja yang dengan baik menguasai Nagham. Setiap kenduri kampung, teungku-teungku tuha gampong kesulitan memilih seorang anak saja untuk menjadi qari. Cara salah satunya adalah dengan menyeleksi mereka, membuat semacam draf penilaian dalam lomba lalu datang ke tiap rumoh beut, tes langsung, menghitung nilai-nilai, atau dengan melakukan cara teraman: memilih seorang qari secara bergiliran dari satu persatu rumoh beut.

Sosok paling sering dipilih adalah teungku Suriadi. Beliau pedang emas dari rumoh beut Teungku Deunan. Namun kemudian, suara-suara sumbang terdengar. Menggelikan. Pedang-pedang baru yang terbentuk, masing-masing ingin berdiri menggantikan Suriadi di podium. Meriah sekali persaingan bidang melantunkan ayat Alquran saat itu. Maka untuk menghindari protes besar dan sadar proses regenerasi, teungku Suriadi kemudian digantikan. Di podium kebanggaan mesjid Raudatus Shalihin kemudian berdiri Erna Hastria sekali, Teungku Wandi dua kali, Juanda dua kali, dan (maha besar Allah) saya sekali-kali, kemudian Martunis (adik kandung teungku Suriadi), lalu teungku Sukardi, lalu Afzhal atau Captaint Vodjand (adik kandung saya), lalu kemari lagi saya mulai tidak bisa mengingat nama.

Datangnya Teungku Sudirman, atau kami memanggilnya Teungku Yong menambah semarak kampung kami. Anak-anak sebantaran saya banyak yang hijrah ke pesantren kecil beliau. Di sana kami belajar kitab-kitab, Barzanji, Dalail Khairat. Sayang sekali kau tak melihat Kuta Bakdrien telah menjadi kampung santri saat itu. Betapa bahagianya saya sempat menjadi bagian ketika anak-anak remaja tak lagi tabu kemana-mana mengenakan sarung dan peci. Ketika sesama anak muda akrab saling memanggil teungku. Ketika kampung dipenuhi alun suara-suara mengaji.

Mengerucut, telah lama sekali sebenarnya ingin saya kabarkan tentang tiga anak bujang tanggung: Teungku Wandi, Juanda, dan saya. Kami sama hijrah dari rumoh beut Teungku Deunan. Di pesantren Teungku Yong, kami mendapatkan kespesifikan keahlian. Teungku Wandi sangat tekun memelajari ilmu-ilmu di kitab dan rajin memperbaiki lekuk tilawahnya, Juanda yang memiliki nafas panjang dan suara bagus kerap luar biasa ketika azan dan dia bisa bikin kau menangis jika sudah melantunkan azan. Saya, di kelompok Dalail Khairat dan Barzanji selalu dipercaya menjadi pelantun qasidah. Maka kemudian demikianlah. Teungku Wandi melanjutkan pendidikannya di pesantren mengikuti jejak Teungku Suriadi, Juanda telah lama tak kudengar lantun azannya yang membuat gigil, dan saya menjadi tukang senandung.

Dalam kepulangan terakhir, saya enggan keluar rumah. Kuta Bakdrien tidak lagi terlihat ramah. Anak-anak remaja enggan dan barangkali tabu mengenakan sarung dan peci, tidak ada lagi yang berkelahi karena rebutan azan, dan teungku-teungku mulai dimudahkan memilih qari untuk setiap acara kampung sebab persaingannya hanya berbilang jari tangan. Saya bisa pastikan qari di kampung kami tidak lagi ramai mengingat pada sekali pulang dua tahun silam saya sempat diminta melantunkan Alquran.

Kau datang ke Kuta Bakdrien hari ini sama seperti kau melintas di kampung lain. Tidak lagi ada keriuhan Dalail Khairat malam Jumat. Barzanji telah dikuasai oleh ibu-ibu, syair-syair kembali pulang ke kesunyian, terlipat di buku-buku teungku Sudirman. Sementara itu, kau dengan mudah menemukan anak-anak muda pandai memetik gitar, menciptakan lagu-lagu mereka sendiri, berkumpul-kumpul membicarakan politik dan trend yang sedang berkembang. Demikian dan entah bagaimana kemudian![]

NSA. Darussalam, 18 Februari 2016