Karya Nazar Shah Alam

(Sumber: Atjeh Times, 18 November 2012)

KATA mereka Emakku gila. Aneh kurasa. Menurutku kelakuan Emak biasa-biasa saja. Ia masih mandi, mencuci piring, mencuci baju, memasak, melakukan segala hal yang sama seperti yang dilakukan oleh para penggunjing itu. Lebih baik dari mereka, Emak masih sembahyang tepat waktu. Masih membaca yasin setiap malam Jumat. Masih suka  membantu orang-orang yang meminta bantuannya–seluruh hal baik-baik yang hampir tidak pernah dilakukan oleh para penggunjing itu. Lantas di mana bedanya? Apa yang mereka nilai dari Emak sehingga dengan mudah mereka berkata bahwa perempuan baik-baik ini telah gila? Apa gara-gara dia tidak lagi mencari kayu bakar di hutan?

Seperti apa yang aku perhatikan pada orang gila, Emak tidak menyerupai mereka sedikit pun. Bahkan mendekati kegilaan pun rasa-rasanya tidak. Emak masih seperti dulu, seperti saat aku pertama kali dibawanya menjauh dari kampungku. Saat itu, tanpa sebab warga kampung asalku membakar rumahku. Abah dan Umi meninggal dalam kejadian itu. Kata mereka Abahku imam yang sesat. Aku tidak tahu mengapa orang kampung menyebut keluargaku sesat.

Aku masih ingat, Emaklah yang dulu menuntunku pergi meninggalkan tanah kuburan Umi dan Abah; mengusap air mataku yang terus mengalir dengan ujung selendangnya; dia menggendong tubuhku yang ringkih ketika aku lelah berjalan di bawah terik surya menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan itu dia menunjukkan banyak hal kepadaku; menceritakan kisah-kisah jenaka sehingga dalam sedih aku tidak bisa menahan diri untuk tidak terbahak. Hingga kini, di mataku ia masih seperti pada hari pertama pertemuan itu. Dia sama sekali tak berubah.

Kata mereka—perempuan-perempuan penggunjing itu—Emakku gila. Gila sebenar-benarnya. Aku tidak percaya apa kata mereka. Perempuan-perempuan itu memang dengki pada Emakku. Memang sejak suami Emak meninggal, Emak mengalami pengucilan oleh perempuan-perempuan kampung kami.

Hanya istri Haji Fauzan yang berpikir Emakku tidak gila dan selalu membantu kami. Mereka keluarga terpandang di kampung ini dan selalu saja memberikan apa pun yang mereka rasa kami perlukan. Ia memberikan aku jajan setiap pagi atau makan siang yang enak. Emak membolehkan aku bemain bersama Sofia, anak Haji Fauzan yang bungsu dan satu kelas denganku. Wajah Sofia secantik perangainya. Dia tak pernah memaki, memarahi, atau menghinaku seperti kawan-kawan yang lain.

Aku sangat kesal jika harus mengingat tingkah anak-anak bejat itu. Jika mereka kalah bermain gasing, maka mereka akan menghinaku habis-habisan, memancing-mancing kata, mengusirku secara tidak langsung dari arena permainan. Apabila aku menyanggah hinaan mereka, ada saja di antara mereka yang menantangku berkelahi. Emak melarangku berkelahi. Walaupun aku katakan pada Emak bahwa merekalah yang bersalah, Emak tetap melarangku berkelahi.

Dulu pernah aku menghajar Ainon. Ia mengejekku hingga semua kawan-kawanku di lapangan tertawa terpingkal-pingkal. Habis kesabaranku saat itu. Ia memang tak punya hati. Dikatakan pada segenap orang di lapangan bermain bahwa aku lahir di rumpun pisang. Kutampar dan kujambak rambutnya. Rupanya dia mimisan sehingga keluar darah dari hidungnya. Aku tidak takut, karena dia yang memulai.

Di luar sangkaan, emak Ainon datang ke tanah lapang membawa rotan seukuran jempol orang dewasa. Emak Ainon memukulku berkali-kali. Lebam dan membiru sekujur kakiku. Hampir muncrat darah di betisku. Aku hanya memandang Tek Adih, Emak Ainon, dengan tatapan kosong. Aku tidak mengiba. Tidak juga berteriak minta tolong agar dilepaskan. Apa yang terjadi kemudian, setelah beberapa kali dengan tanpa ampun Tek Adih memecut betisku, semuanya menjadi hitam. Sesaat terdengar sayup suara laki-laki dari arah lapangan bola kaki. Aku rasakan rambutku lepas dari cekalan tangan kasar Tek Adih, tubuhku melayang-layang, perutku terasa tertekan, lalu semua benar-benar  hitam dan tidak ada lagi suara.

Malamnya, ketika aku terjaga, Emak telah berada di sampingku. Ia tersenyum dan berbisik perlahan, “Sabarlah, Inong.”

Aku hanya mengangguk lemah, sembari mencoba menggapai wajahnya yang basah airmata. Sepanjang malam itu airmata di pipinya tidak berhenti mengalir. Emak menyembunyikan kepiluannya tanpa suara. Sejak kejadian itu Emak melarangku mencari perkara dengan anak-anak bejat itu.

Kata mereka—perempuan-perempuan kampung kami yang dengki itu—Emakku gila. Tek Adih yang paling suka mengatai-ngatai Emakku gila. Apa sudah buta mata mereka? Padahal Emak masih seperti biasa. Ia masih menjahitkanku baju batik sebagai hadiah kenaikanku di kelas empat. Kain baju itu diberikan oleh istri Haji Fauzan. Selain itu,  Emak masih membersihkan rumah, tak banyak merepet, masih selalu menemaniku keluar malam ke sungai untuk buang hajat. Emak masih sering mendongeng untukku. Lalu, di mana letak kegilaannya?

Tentang Emak yang tak lagi mencari kayu bakar apakah karena itu dia dianggap gila? Aku pikir itu sama sekali tidak beralasan. Pada suatu hari Emak menghentikan mencari kayu di hutan karena punggung dan kakinya mulai sering terasa sakit. Dan tak lama setelah itu dia mulai merintih ketika malam tiba. Dia memang menahan erangannya agar aku tak mendengarnya tapi aku mendengarnya. Kadang-kadang aku mendengarnya berbicara kepada kakiknya yang sakit itu seperti sedang berpetuah pada anak-anak. Pada kakinya yang sakit dia bertanya mengapa si kaki membebaninya dengan penderitaan. Berbicara dengan kaki bukan pertanda dia gila, bukan?   Aku yakin, hampir semua orang pernah berbicara dengan bagian tubuh mereka yang sedang sakit. Tubuh sendiri yang sedang sakit pun harus diajak bekerjasama sekurang-kurangnya agar rasa sakit itu dapat segera hengkang.

Beberapa hari setelah Emak tak lagi mencari kayu bakar, aku mendengar para perempuan yang dengki itu berbisik menyebut nama Emak di warung sayur tepi jalan. Kata mereka, Emak sedang kumat gila. Aku berlari segera menuju rumah. Terhuyung-huyung tubuh kurusku menggapai tuju. Di rumah kucari Emakku. Aku jumpai ia sedang mandi. Tampaknya dia biasa saja.

Aku senang mendapati Emak dalam keadaan seperti semula. Aku lepaskan pakaian sekolahku. Pelan sekali aku melangkah hendak menuju rumah Sofia. Aku ingin bermain dengannya. Dari sumur, terdengar Emak sedang bersenandung. Ah, bukankah itu sudah biasa? Tidak. Rupanya ini senandung yang lain sama sekali. Aku pernah mendengar senandung ini. Ini merupakan senandung kegelisahan yang bertahun-tahun lalu aku dengar sejak aku dibawa ke rumahnya. Perbedaannya, kini suara emak  telah disaring usia. Nadanya timbul tenggelam dibawa angin. Kuintip dari sela papan dinding rumah kami. Emak masih sedang mandi. Tak ada yang berlebihan. Mandi dan bersenandung seperti biasanya. Orang-orang kaya pun, aku pikir sering melakukannya. Aku melihatnya beberapa kali di sinetron di rumah Sofia.

Lalu terdengar riuh suara dari rimbun semak belakang sumur kami. Tek Adih yang kejam itu menyeruak muncul dengan gelegar seperti guntur. “Syaripah gilaaa.. Syaripah gilaaa…!”

Ratu Kedengkian itu berlari ke arah tengah perkampungan yang ramai mengabarkan Emakku gila. Emak terlihat tersenyum mengejek. Tak lama kemudian terdengar banyak orang memekik di jalanan. Suara mereka bulat menyebut nama Emak seperti segerombolan orang sedang berkampanye. Aku gelagapan. Dari sela dinding papan rumah aku intip apa yang sedang Emak lakukan. Emak sedang mandi dengan sentosa dan masih bersenandung dengan nyaman.

Suara-suara jorok itu akhirnya menghilang juga. Suara gedebum timba yang dicelupkan Emak ke sumur membuatku terkejut. Kulihat Emak mengusap badannya. Kemudian ia keluar dengan pakaian yang lengkap. Handuk dililit di atas kepala. Ia menatapku yang sedang menatapnya ketika kami saling memandang di dekat pintu dapur. Ia tersenyum lembut, lalu beranjak meraih sajadah dan mukena. Emak salat. Aku menatapnya lekat-lekat. Tak ada yang berubah. Tapi mengapa mereka, perempuan-perempuan sialan itu berkata Emakku gila?

Suara sahut-menyahut kembali pecah di luar. Salat Emak sudah usai. Lepas melipat perlengkapan salatnya, Emak menyuruhku mengambil bungkusan kain kecil yang terduduk rapi di tengah kamar depan lantas ia menuntunku melewati mulut pintu. Perempuan-perempuan kampungku ramai di depan rumah kami yang lesu. Tangan-tangan mereka membawa batu dan kayu. Aku memeluk pinggang Emak. Mereka terus berteriak. Mereka mungkin akan melempar rumahku atau merajam emakku. Tapi tangan mereka tak bergerak. Mereka terpacak di tempat dan cuma berteriak-teriak. Sebenarnya siapa yang gila? Emakku, mereka yang sirik itu, atau jangan-jangan, aku yang gila.

Nazar Shah Alam, menulis puisi, esai, dan cerpen. Karyanya terhimpun dalam beberapa antologi sastra. Dia bergiat di Komunitas Jeunerob.